“Mereka tak sama seperti kita dulu… Anak yang dibesarkan dalam kesenangan, tak faham kerja keras… Tahunya hanya protes”
“Terlalu dirusak oleh teknologi, lebih banyak bermain dari bekerja”
“Tukar kerja seperti tukar baju… Tidak loyal… Mereka di sini bukan untuk membantu”
Itulah perbincangan sekelompok senior saat berkumpul membicarakan para eksekutif muda Generasi Y yang sangat berbeda budayanya dengan mereka.
Kebiasaannya yang terdengar adalah lebih
banyak keluhan daripada pujian. Walaupun mereka ini terlihat pintar,
agresif dan sentiasa mau mencoba, tetapi sikap mereka membuat barisan
manajemen sakit kepala. Mereka orang muda yang berani dan bersemangat,
tetapi sering dianggap kurang ajar. Baru seminggu bekerja, tanpa malu
sudah berusaha mau mengubah cara pengelolaan perusahaan .
Mereka memang hebat dengan kemahiran
multitasking. Sambil membalas email melalui Ipad, masih bisa
diselang-selingi membalas pesan BlackBerry.
Pada waktu yang sama, mereka melakukan business deal melalui telepon.
Apalagi dengan memakai jeans dan iPod di meja kerja, mereka diragukan
apakah benar-benar bekerja atau bermain ? Di mana disiplin dan
keseriusan yang selama ini penting dalam ‘budaya’ perusahan ?
Tambah jelas apabila tepat jam 5 sore,
mereka akan bergegas pulang untuk aktivitas pribadi seperti bermain
futsal, ke Gym atau sekadar keluar minum bersama teman-teman. Lembur ?
Tidak… Karena bagi mereka hal itu tanda gagal mengurus waktu dan kurang
gesit menyelesaikan pekerjaan. Apalagi bekerja di akhir minggu. Mereka
biasanya sudah punya rencana cuti bersama teman atau melakukan hobinya.
Namun, mereka tidak menolak untuk
menyelesaikan pekerjaan dari rumah atau dari tempat liburan, asal saja
ada jaringan internet. Pekerjaan dapat mereka selesaikan dengan baik
tanpa perlu rapat demi rapat. Mereka memang sangat berbeda. Karena itu
mereka sering dikritik dan tidak terlepas juga, mereka senang
mengkritik.
Inilah fenomena yang sedang melanda
dunia. Gelombang baru perubahan yang dibawa oleh anak-anak muda yang
mulai memasuki dunia pekerjaan. Jika Anda senior di perusahan, maka
bersiaplah untuk berhadapan dengan mereka. Cara berpikir, cara pandang,
cara hidup, juga cara mereka menentukan keutamaan dan mendefinisikan
kesuksesan sangat berbeda.
Menurut Bruce Tulgan, penulis dan pengagas New Haven yang melakukan kajian terhadap generasi muda, “Para
korporasi harus mulai bersiap, karena generasi ini, yang anggotanya
tidak lagi mencapai usia 30, adalah sangat berbeda dibanding generasi
sebelumnya”
Siapa sesungguhnya mereka ?
Mereka dikenal sebagai Generasi Y, atau ada juga yang menjuluki sebagai echo boomer dan millennials.
Ada yang mengatakan, mereka lahir sekitar tahun 1977 – 2002. Ada juga
yang berpendapat, sekitar tahun 80an hingga tahun 2005. Namun yang jelas
mereka adalah Generasi baru, anak-anak generasi Baby Boomer yang hidup
setelah Perang Dunia Ke-2.
“Generasi Millennium telah dibesarkan dalam generasi yang paling menitikberatkan anak-anak. Mereka diprogram dan dibentuk,”
kata Cathy O’Neil, VP senior di perusahaan pengelolaan SDM Lee Hecht
Harrison di Woodcliff Lake, New Jersey. Keinginan mereka berbeda.
Generasi millennium ini menunggu untuk mendapat masukan dari hasil kerja
mereka.
Dari kecil mereka diajari berpikir
terbuka dan bebas menyuarakan pandangan dan keinginan mereka. Guru-guru
dan orangtua membentuk generasi ini bebas berpikir, sering diberi
feedback, pujian, dan dorongan. Mereka dibesarkan di dalam zaman yang
paling ‘aman’ di dalam sejarah dan layak mengharapkan lebih
banyak dari generasi sebelumnya. Bukan sekadar kebendaan, juga tempat
kerja yang menawarkan peluang yang tidak terbatas. Hasilnya, mereka
sangat percaya diri, berani bersuara, dan tidak malu mengemukakan
pandangan.
Namun ini menjadikan mereka generasi
yang tidak lagi hanya memikirkan uang semata. Mereka menginginkan
keadilan di dalam menilai pekerjaan mereka dan dihargai tidak hanya
dengan gaji. Mereka dibesarkan dengan pujian dan penghargaan dari guru
dan orangtua. Karena itu, jika tidak mendapat feedback secara rutin dari
atasan, mereka bisa merasa tidak dihargai dan akan pergi meninggalkan
organisasi walaupun gaji yang ditawarkan tinggi.
Mereka juga tidak akan menghormati
seseorang hanya kerana jabatan atau senioritas. Mereka hanya akan
menghormati orang yang memperlihatkan sikap hormat kepada mereka.
Kesetiaan bagi mereka tidak hanya dibina dari bawah ke atas, tetapi juga
harus dari atas ke bawah.
Anak-anak muda ini adalah wajah dunia
masa depan, bercita-cita tinggi, kaya ide, ketagihan perubahan, berani
dan seolah mampu melakukan apa saja, kecuali satu… mengikut apa yang
diarahkan tanpa sebab !
Dia juga menambahkan bahwa, mereka
dibesarkan bebas bertanya dan mempersoalkan orangtua. Saat besar mereka
juga akan merasa nyaman untuk bertanya dan mempersoalkan atasan. Ini
sesungguhnya bagus, tetapi hal itu akan mencemaskan manajer yang berusia
50 tahun yang mana kebiasaannya hanya mengeluarkan arahan, “Lakukan dan lakukan sekarang”
Sudah saatnya para pemimpin korporasi
memikirkan hal ini dengan serius. Semua hal berubah. Begitu juga cara
dalam menghadapi para pekerja baru yang memasuki dunia pekerjaan. Mereka
pastinya tidak sama seperti generasi 20 tahun lalu. Nilai-nilai yang
dibawa oleh golongan muda ini seperti kecepatan, fleksibel, inovasi dan
gold oriented harus kita terima dan sesuaikan di korporasi.
Cara pengelolaan lama yang kurang fleksibel harus segera diubah untuk menyesuaikan diri dengan tenaga muda yang sedang haus mencari peluang untuk mengembangkan ide dan inovasi.
Sebuah transformasi budaya korporasi
sangat diperlukan saat ini oleh semua perusahaan atau organisasi yang
ingin bertahan. Kita harus segera mentransfer nilai-nilai budaya yang
menghidupkan perusahan selama ini pada belief system Generasi Y yang
sesungguhnya adalah sumber daya masa depan. Mereka rajin dan kuat
bekerja tetapi tidak mau pekerjaan menguasai kehidupan mereka. Bekerja
bagi mereka bukan segalanya, tetapi hanya sebagian dari kehidupan yang
perlu dijalani. Mereka sesungguhnya memerlukan lebih dari sekadar gaji
dan penghargaan.
Dengan pengelolaan yang benar, para
pemuda, tenaga kerja, atau warganegara muda ini akan menjadi aset
berharga. Kami telah membantu dan bekerjasama dengan banyak organisasi
untuk menangani hal ini. Dengan memberikan training dan motivasi yang
tepat, telah memperlihatkan hasil yang fenomenal. Anak-anak muda yang
dulunya hanya memikirkan pencapaian diri dan kurang percaya kepada
lingkungan, kini bangkit menjadi bagian dari karyawan dan masyarakat
yang berwawasan dan bercita-cita untuk kesejahteraan bersama.
Ingatlah, sesungguhnya bukan mereka
berada di zaman kita, tapi kitalah yang sebenarnya hidup di zaman mereka
sekarang. Beri mereka makna dan tujuan hidup, serta keluarkan
nilai-nilai spiritual yang akan menjadi perekat juga menyatukan. Anda
akan terkejut melihat bagaimana mereka bekerja untuk Anda sekarang dan
meneruskan legasi kesuksesan Anda di masa depan !
Dr. (H.C) Ary Ginanjar Agustian,
Pakar Pembangunan Karakter,
Corporate Culture Consultant,
Founder ESQ 165.
Pakar Pembangunan Karakter,
Corporate Culture Consultant,
Founder ESQ 165.
fanspage : facebook.com/Ary.Ginanjar.Agustian
Twitter : @AryGinanjar165
Twitter : @AryGinanjar165
0 komentar:
Posting Komentar