Diberdayakan oleh Blogger.
Dapatkan GRATIS EBOOK tentang Manajemen Sumber Daya Manusia, HRD, Human Capital, Leadership, Public Speaking & Ilmu Pengembangan Diri

Bergabunglah dengan Ribuan Sahabat HRD & Leader Pembelajar lainnya :

Grup Telegram Komunitas Young HRD Indonesia
Youtube Channel Komunitas Young HRD Indonesia
Halaman Facebook Komunitas HRD Indonesia



Mau Presentasi Sehebat Trainer ?

Mau Presentasi Sehebat Trainer ?
Info Detail KLIK Gambar

Senin, 26 Mei 2014

Formulir Penilaian Kinerja Karyawan ( Employee Performance Appraisal Form )


Sumber : www.younghrd.blogspot.com


Metode Penilaian Rating Scale (Skala Rating) versi Werther dan Davis


Metode Penilaian Kinerja Karyawan Rating Scale ini merupakan penilaian yang tertua. Skala ditetapkan dari yang terendah hingga yang tertinggi. Evaluasi berdasarkan pendapat si penilai sendiri. Umumnya, dilaksanakan oleh atasan langsung. Kelebihannya adalah tidak mahal, mudah dilaksanakan dan dapat diterapkan pada karyawan di organisasi yang jumlahnya banyak. Kelemahan utama adalah subjektivitas.


Sumber : Buku A to Z Human Capital Manajemen Sumber Daya Manusia oleh Jimmy L. Gaol halaman 294


Bagi Anda yang berminat belajar Manajemen SDM dan HRD secara GRATIS. 
Join Halaman Telegram Komunitas Young HRD Indonesia

Bagi Anda yang serius ingin belajar mengenai Metode Terbaru dalam penilaian kinerja karyawan. Saya akan bagikan GRATIS Video tentang Penilaian Kinerja berbasis Key Performance Indicators (KPI).

Anda bisa menghubungi Tim Young HRD Indonesia melalui No. WhatsApp 085852316552. 
Ketik YHI_Profesi_Nama Lengkap_Domisili
dan Chat "Mau Video Penilaian Kinerja berbasis KPI".
Segera saya kirimkan link video untuk membantu memudahkan Anda untuk belajar tentang KPI.



Jangan Bangga Menjadi Atasan







Orang yang tahu betapa beratnya amanah seorang pimpinan (atasan) tidak akan sampai sikut-sikutan untuk mengejar jabatan itu. Menjadi atasan itu pertanggungjawabannya berat namun juga menjanjikan pahala yang besar. Oleh karenanya, hindari menghalalkan segala cara untuk menjadi atasan namun pantang “tolak tugas” jika mendapat amanah menjadi atasan.

Setelah menjadi atasan fokuslah kepada peningkatan kerja dan pencapaian target. Tak baik fokus pada membanggakan diri karena jabatan yang diperoleh. Jabatan adalah salah satu jalan memperbanyak ladang kebaikan bukan jalan memperkaya diri, menyombongkan diri dan bukan pula jalan meminta untuk dihormati.

Alkisah, seorang pedagang pakaian di Tanah Abang Jakarta berhasil menyekolahkan anaknya hingga lulus dari perguruan tinggi ternama. Sang anak lebih senang berkarir menjadi karyawan di salah satu perusahaan multinasional. Ia tidak mau meneruskan bisnis milik ayahnya.

Karena sang anak otaknya memang cerdas, supel, senang bergaul dan mau belajar maka karirnya terus naik. Suatu hari ia diangkat menjadi atasan yang memiliki banyak anak buah di kantor pusat perusahaan itu di Amerika Serikat. Untuk meluapkan rasa bahagianya itu ia menelepon bapaknya.

Dari balik telepon sang anak berkata, “Pak, karirku naik lagi. Aku sekarang menjadi atasan di kantor pusat di New York.” Dari balik telepon sang ayah menyambutnya dengan dingin bahkan terkesan sedih. Melihat situasi seperti ini, sang anak yang memang sudah terlatih memahami situasi langsung bertanya, “Mengapa bapak terlihat tidak bahagia? Padahal anaknya diangkat menjadi atasan.”

Dengan suara pelan dan perlahan sang ayah berkata, “Anakku, jauh-jauh kamu ke New York hanya menjadi atasan. Bapakmu gak bangga sebab atasan di Tanah Abang harganya cuma enam puluh ribu rupiah, nak. Apalagi kalau kamu beli grosiran.”

Salam SuksesMulia!

Bukan Hanya Pemimpin Yang Amanah, Tapi Juga Sistem Kepemimpinan Yang Amanah



Sesungguhnya Allah Ta’ala memberikan wewenang kepada penguasa untuk menghilangkan sesuatu yang tidak bisa dihilangkan oleh Al Qur’anUtsman bin Affan

Islam berbeda dengan agama-agama yang lain yang pernah diturunkan oleh Allah Swt, karena Islam diturunkan sempurna dan menyeluruh, termasuk dalam hal megatur pemimpin dan sistem kepemimpinan.

Karena mengusung kesatuan kepemimpinan politik dan spiritual inilah maka Islam dapat tersebar dengan luasan yang fenomenal dalam tempo yang relatif singkat dibandingkan peradaban pendahulunya seperti Persia dan Romawi.

Karena itu pula Michael H. Hart dalam bukunya “The 100 – a Ranking of Most Influential People in History”, menilai Nabi Muhammad dengan kalimat “he was the only man in history who was supremely succesfull on both the religious and secular level“, dengan menuliskan dua alasan:
“Muhammad, however, was responsible for both the theology of Islam and its main ethical and moral principles”
“Furthermore, Muhammad (unlike Jesus) was a secular as well as a religious leader. In fact, as the driving force behind the Arabs conquest, he may well rank as the most influential political leaders of all time”

Pemimpin di dalam Islam sangatlah penting, bahkan diwajibkan dalam perkara agama. Rasul bersabda “Tidak halal bagi tiga orang yang berada di sebuah tempat di muka bumi ini melainkan mereka menunjuk seorang pemimpin di antara mereka.” (HR Ahmad)

Bila dalam safar saja diwajibkan adanya pemimpin, apalagi perkara yang lebih besar yaitu urusan ummat seluruhnya. Namun di dalam Islam, Allah tidak hanya mewajibkan pada kaum Muslim untuk sekedar memiliki pemimpin yang amanah, namun juga sistem yang amanah dimana pemimpin itu memimpin dengannya.

Rasul sendiri tatkala memimpin kaum Muslim bertindak sebagai kepala negara yang amanah, dengan mengatur sistem ekonomi, politik, pendidikan, peradilan dan keamanan dalam dan luar negeri, termasuk mengirim surat pada Kaisar Romawi dan Kisra Persia pada waktu itu, dan kesemuanya berdasarkan sistem syariah Islam.

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الأمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا
وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الأمْرِ مِنْكُمْ
فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلا

Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya (QS an-Nisaa [4]: 58-59)

Kedua ayat ini menunjukkan kewajiban yang sangat besar bagi kaum muslim untuk memiliki pemimpin dan kepemimpinan yang dengannya bisa diterapkan amanat hukum Allah dengan adil, dan menjadi penjamin atas dipakainya al-Qur’an dan as-Sunnah ketika ada perselisihan diantara kaum mukmin
Rasulullah pun telah memberikan batasan, bagaimana penguasa dan kepemimpinan ini diatur dalam Islam melalui lisannya yang mulia:

“كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمْ الْأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ وَإِنَّهُ لَا نَبِيَّ بَعْدِي وَسَيَكُونُ خُلَفَاءُ فَيَكْثُرُونَ”
قَالُوا “فَمَا تَأْمُرُنَا” قَالَ “فُوا بِبَيْعَةِ الْأَوَّلِ فَالْأَوَّلِ. أَعْطُوهُمْ حَقَّهُمْ فَإِنَّ اللَّهَ سَائِلُهُمْ عَمَّا اسْتَرْعَاهُمْ” روه بخاري و مسلم

Dahulu Bani Israil selalu dipimpin dan dipelihara urusannya oleh para nabi. Setiap nabi meninggal, digantikan oleh nabi berikutnya. Sesungguhnya tidak ada nabi sesudahku. Tetapi nanti akan ada banyak khalifah. Para Sahabat bertanya, “Apa yang engkau perintahkan kepada kami?” Beliau menjawab, “Penuhilah baiat yang pertama, dan yang pertama saja. Berikanlah hak mereka, sesungguhnya Allah akan memintai pertanggungjawaban terhadap urusan yang dibebankan kepada mereka” (HR Bukhari dan Muslim)

Demikianlah Rasulullah berpesan, bahwa yang kelak akan melanjutkan kepemimpinan dan pemeliharaan atas ummat adalah pemimpin yang disebut Khalifah, dan Khalifah inilah yang akan menjaga amanah untuk menerapkan sistem amanah berdasar Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagaimana diperintahkan dalam QS An-Nisaa [4]: 59

Maka setelah wafatnya Rasulullah, Abu Bakar menjabat sebagai Khalifah kaum Muslim, dilanjutkan dengan Umar bin Khaththab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abu Thalib, keempatnya dikenal sebagai Khulafaur Rasyidin, Para Khalifah yang ditunjuki Allah. Dan sistem kepemimpinan ini disebut dengan nama Khilafah.

Keberadaan Khalifah sebagai pemimpin yang satu bagi kaum Muslim dan Khilafah sebagai sistem kepemimpinan yang satu bagi kaum Muslim inilah yang selalu dijaga oleh kaum Muslim semenjak wafatnya Rasulullah sampai pada tahun 1924 saat Khilafah diruntuhkan di Turki dan Khalifah diturunkan dan diasingkan.

Dari dalil-dalil diatas kita lalu memahami bahwa seluruh kaum Muslim diwajibkan dalam Islam untuk memiliki pemimpin yang amanah, selain itu Islam juga mewajibkan adanya sistem yang amanah.
Dalam Islam, belum cukup ketika kaum Muslim memilih pemimpin yang amanah, namun dipilih untuk menjalankan sistem yang tidak amanah seperti sekulerisme, liberalisme dan demokrasi seperti saat ini. Tapi pemimpin Islam diwajibkan untuk menjalankan sistem amanah juga, yaitu yang berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Karenanya memilih pemimpin yang amanah tapi tidak sistem kepemimpinan yang amanah, hanya menjadikan pemimpin tersebut bermaksiat dalam sistem yang tidak amanah ini, dan merupakan sikap tak benar karena memilih dan memilah hukum Allah, setengah-setengah dalam ketaatan.

Seharusnya kaum Muslim menyadarkan dan mengingatkan satu sama lain bahwa sumber permasalahan besar ummat bukan hanya tentang pemimpin yang amanah, namun lebih karena ditinggalkannya hukum Allah dan Rasul-Nya, Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai sistem kepemimpinan.

Jadi Islam mewajibkan bukan hanya pemimpin yang amanah, namun juga sistem kepemimpinan yang amanah.



buku-buku @felixsiauw bisa ke Gramedia atau pesan online di alfatihbookstore.com atau ke pages Facebook alfatihbookstore

 

Dave Ulrich Tentang Indonesia (Pakar SDM Dunia)


Mengetahui Kesiapan HR dalam Menghadapi Tuntutan Bisnis




‘Wah enak-nya..’ itu lah ungkapan yang biasa kita ucapkan ketika melahap burger di restoran cepat saji.  Keunikan burger yang menjadi kunci kelezatan burger adalah daging yang terdapat di tengah-tengah, namun burger tetaplah bukan burger dan tidak memberikan sensasi rasa yang nikmat jika dikonsumsi tanpa kedua roti yang menghimpit daging itu sendiri.

Hal inilah yang menjadi dasar konsep ‘HR Burger Role’. Divisi SDM di dalam perusahaan dapat diumpamakan sebagai daging yang dihimpit oleh dua buah roti yaitu, roti yang diatas merepresentasikan organisasi / top management sedangkan roti yang dibawah adalah seluruh karyawan. Analogi ini juga dapat diartikan bahwa Divisi SDM harus menyeimbangkan antara keinginan organisasi dan keinginan karyawan sehingga dapat menciptakan organisasi dan lingkungan kerja yang sehat dan produktif.  Tentunya ini juga mengindikasikan bahwa Divisi SDM perlu aktif “ke atas” dan “ke bawah” untuk dapat berperan dengan baik.

Kebutuhan untuk berperan “ke atas” inilah yang menuntut divisi SDM untuk memiliki pandangan yang luas dalam menciptakan organisasi yang strategis dan kondusif sehingga dapat memberdayakan seluruh potensi yang dimiliki organisasi. Oleh sebab itu, Divisi SDM yang baik harus mampu untuk terlibat di dalam mendiagnosa organisasi melalui  5 (lima) aspek yaitu: strategi, sistem, struktur, karyawan, dan kultur.  Sebagai contoh, ketika sebuah perusahaan lokal menetapkan strategi terobosan baru dengan ingin membuka cabang atau beroperasi di luar negeri maka Divisi SDM harus memastikan bahwa pengembangan SDM haruslah sudah mendukung kemampuan untuk dapat merekrut SDM di luar negeri. Sistem dalam organisasi juga harus mendukung hal tersebut, misalnya apakah sudah ada Standard Operation Procedure (SOP) yang mengatur koordinasi antara cabang yang sudah ada dengan cabang yang baru di luar negeri. Demikian pula halnya dengan, kejelasan struktur organisasi tidak kalah penting karena Divisi SDM harus dapat membantu organisasi memetakan posisi yang akan ditempatkan serta tugas dan tanggung jawabnya. Tidak hanya itu, kesiapan karyawan juga perlu menjadi faktor penting karena Divisi SDM harus dapat memastikan bahwa karyawan yang akan dikirim ke cabang memiliki kompetensi yang sesuai. Terakhir adalah Divisi SDM harus dapat memastikan kultur organisasi yang sudah ada, tetap langgeng walaupun sudah beroperasi di luar negeri. Pemahaman Divisi SDM dalam kelima aspek tersebut adalah faktor pembeda yang sangat penting menuju Divisi SDM yang strategis.

Setelah pemahaman strategis “ke atas” ini sudah terbentuk maka  Divisi SDM juga dituntut untuk menerjemahkan pemahaman strategis tersebut menjadi inisiatif strategis, terutama yang dapat membuat seluruh SDM semakin berkomitmen terhadap organisasi dan tanggung jawab pekerjaannya. SDM yang berkomitmen tinggi akan berkata positif terhadap organisasi, akan loyal terhadap organisasi dan akan produktif bekerja. Sebuah kondisi yang pasti diimpikan oleh semua organisasi.

Namun pemahaman atas komitmen SDM dalam organisasi belumlah cukup jika perbaikan hanya terfokus pada aspek “ke atas” dan ke bawah”. Dalam konsep HR Burger, Divisi SDM sendiri juga perlu memahami kapabilitas Divisi SDM sendiri.  Apakah Divisi SDM memiliki kompetensi yang memadai untuk mendukung “ke atas” dan ke bawah”?  Bagaimana Divisi SDM dapat memanfaatkan secara maksimal SDM yang tersedia dalam organisasi?  Apakah Divisi SDM sudah melakukan benchmark terhadap best practice yang ada?  Salah satu cara yang biasa digunakan adalah dengan melakukan HR Audit secara berkala untuk mengevaluasi Divisi SDM dan kemudian menetapkan area yang dapat diperbaiki dan atau dikembangkan. Seperti layaknya daging dalam burger yang harus terasa lezat maka Divisi SDM harus terus meningkatkan mutu dan kualitas tim SDM sehingga dapat memberikan hasil (nilai tambah) buat organisasi dan karyawan.

Konsep HR Burger ini sebenarnya adalah konsep yang sederhana namun sepertinya masih banyak Divisi SDM di Indonesia yang belum berhasil menjalankannya dengan baik.  Akan tetapi, dengan memahami dan menjalankan konsep HR Burger ini, tentunya akan jauh mendorong Divisi SDM untuk menjadi mitra yang penting dan strategis bagi organisasi.
 
Handoko Said  & Merilla Pramita
VP HR Services & Head of HR Services of GML Performance Consulting

Sumber : http://www.gmlperformance.com


Tingkatkan PENGETAHUAN BISNIS Anda 
Salah Satunya dengan Gabung Ecourse BUSINESS LEADER Skills



Kamis, 22 Mei 2014

Menggabungkan Six Sigma dan Balance Scorecard

(Business Lounge – Quality) – Untuk melakukan continuous improvement dalam organisasi, salah satu metode yang digunakan adalah Six Sigma. Jika Six Sigma digabungkan dengan Balanced Score Card (BSC), maka keduanya menjadi tool yang makin powerful, karena menyelaraskan antara proyek Six Sigma dengan tujuan dan strategi organisasi.

Six Sigma merupakan aktivitas proyek yang dilakukan organisasi dalam rangka continuous improvement, yang diharapkan dapat menghasilkan penghematan sekaligus meningkatkan kinerja. Sementara itu, Balanced Score Card merupakan tool yang dapat membantu organisasi untuk berfokus kepada aspek-aspek penting dalam bisnis, sekaligus melakukan evaluasi terhadap perkembangan yang sudah dicapai.

Dalam Balanced Score Card, karyawan harus mengubah tujuan organisasi menjadi metrik kinerja dari empat aspek.

Keempat aspek berikut inilah yang menjadi sudut pandang dari Balanced Score Card.
• Customer: bagaimana pelanggan memandang organisasi?
• Internal Process: di area mana yang seharusnya menjadi unggulan organisasi?
• Learning/Growth: bagaimana organisasi dapat meningkatkan dan menciptakan value?
• Financial: bagaimana pemegang saham memandang organisasi? Bagaimana Six Sigma dan BSC bisa menjadi perpaduan yang sempurna?

Intinya adalah karena keduanya merupakan metode yang dapat membantu meningkatkan kinerja dari organisasi. BSC membantu dalam rangka menunjukkan area-area mana saja yang perlu ditingkatkan. Melalui BSC, maka metric-metrik akan memperoleh 3 jenis rating, yakni merah untuk buruk, kuning untuk mixed, dan hijau untuk sempurna. Dengan rating ini, maka kita dapat mengetahui aspek mana yang perlu diperbaiki. Selanjutnya, maka dirancanglah proyek-proyek Six Sigma yang ditujukan untuk meningkatkan aspek-aspek yang lemah. Metode Six Sigma menjalankan proyek-proyek yang berupaya dalam meningkatkan kinerja organisasi.

Sementara itu, BSC kembali menjadi matrik yang menjadi tolak ukur dari kemajuan dari kinerja organisasi. Jadi, penggunaan BSC menjadikan proyek Six Sigma yang dilakukan selaras dengan tujuan dan strategi organisasi. Apa yang menjadi fokus organisasi, kemudian ditingkatkan lewat Six Sigma. Faktor yang menjadi kunci sukses dari penggunaan Six Sigma dan BSC ini adalah partisipasi dari seluruh karyawan untuk berpartisipasi dalam melakukannya.

Pentingnya Six Sigma dan BSC harus dikomunikasikan dengan baik kepada seluruh karyawan. Balanced Scorecard juga bermanfaat sebagai alat mengkomunikasikan strategi pada karyawan. Melalui BSC. maka karyawan akan dapat memahami bahwa kontribusi mereka terkait langsung dengan kinerja organisasi. Mereka akan memahami bahwa  empat perspektif dalam BSC saling berpengaruh satu sama lainnya. Sehingga, keempat perspektif tersebut semuanya harus berjalan dengan baik, jika strategi ingin berjalan dengan lancar, dan tujuan organisasi tercapai. Ketika rating jatuh ke indikator merah, tentunya ini menunjukkan bahwa terdapat kinerja yang bermasalah.

Jika karyawan paham pentingnya Six Sigma dan BSC, maka mereka akan berinisiatif untuk mengambil langkah dalam melakukan perbaikan dalam area yang bermasalah tersebut. Apalagi, jika satu area mengalami masalah, maka ini berpotensi menghasilkan masalah ke area lainnya. Sehingga, Six Sigma dengan Balanced Scorecard akan menjadi tools yang powerful jika digabungkan. Six Sigma meningkatkan kinerja, sementara BSC menyediakan indikator lewat metrik untuk mengevaluasi kinerja. Penggunaan keduanya juga memungkinkan untuk menyelaraskan antara continuous improvement dengan strategi dan tujuan organisasi.

Palimirma/Kontributor Business Lounge
Editor: Iin Caratri


Bagi Anda yang berminat belajar Manajemen SDM dan HRD secara GRATIS. 
Join Halaman Telegram Komunitas Young HRD Indonesia



Prinsip dan Implementasi 5S

Kosa kata “5S” sangat sering kita dengar hamper dalam keseharian kita, terutama bagi mereka yang berprofesi sebagai karyawan industri manufaktur. Secara harfiah “5S” berasal dari 5 kata dalam bahasa jepang yaitu, Seiri, Seiton, Seisou, Seiketsu, dan Shitsuke. Jika kita terjemahkan dalam bahasa Indonesia ia akan menjadi Pemilahan, Penataan, Pembersihan, Pembiasaan, Pendisiplinan. Sehingga dalam beberapa pabrik, kosa kata 5S ini sudah diubah menjadi “5P” atau dalam konteks lain ia berubah menjadi 5R (Ringkas, Rapi, Resik, Rawat, dan Rajin) walaupun untuk yang terakhir ini terkesan sedikit memaksa, tetapi masih memiliki semangat yang sama dengan 5S.

Secara umum orang mengenal 5S sebagai sebuah cara atau filosofi kebersihan ala orang jepang, namun sesungguhnya tidaklah demikian, 5S bukanlah sekedar cara untuk bersih-bersih pabrik atau area kerja, namun 5S merupakan cara me-manage, cara mengelola area kerja kita baik dari pola kerja yang efisien dan efektif, pola melakukan perbaikan terus-menerus dengan mengikis segala bentuk pemborosan, memperbaiki alur kerja, serta memangkas proses-proses yang tidak perlu dan tidak rasional, selain itu 5S juga mengajarkan kepada kita tentang pola kedisiplinan yang tidak pernah mengenal lelah apalagi menyerah.

Kata kunci dalam pelaksanaan 5S dan sekaligus target sasaran 5S adalah perubahan moralitas kerja ketika kita berada diarea kerja kita, keselamatan kerja, dan efisiensi dalam setiap hal pekerjaan yang kita lakukan. Sebab dengan pelaksanaan 5S, kita bisa dengan mudah melihat perbedaan setiap jenis barang di tempat dan lokasi yang berbeda pula, lebih mudah mengakses dan menemukan sesuatu yang kita cari karena petunjuk lokasi dan tempat yang sudah jelas, lebih hemat waktu dalam mengerjakan sesuatu hal karena petunjuk yang jelas dan standar kerja yang sudah baku disesuaikan dengan kebutuhan kerja, lebih merasa aman dan nyaman dalam bekerja karena semua karyawan telah melakukan hal yang sama dan standar.

Untuk itu, marilah –secara singkat– kita kaji satu persatu dari 5 kata S diatas

Seiri (整理), Pemilahan
Pastikan setiap barang yang berbeda jenis dan keperluannya terpisah. Tidak mencampurkan jenis produk yang sama dalam satu keranjang atau karton box yang sama sebab hal ini berpotensi terkirim sampai ke pelanggan. Pisahkan pula produk yang dinyatakan “OK” dengan produk yang dinyatakan “NG” demikian juga dengan produk yang belum diperiksa, semuanya harus benar-benar jelas memiliki tanda dan terpisah. Pasikan tools, alat-alat yang bisasa digunakan untuk bekerja tidak tercampur dengan alat-alat yang sudah rusak dan tidak bisa digunakan lagi.

Seiton(整頓), Penataan
Setelah kita memilah barang yang berbeda jenis, berbeda keperluannya, dan berbeda tujuan, maka langkah berikutnya adalah menata setiap barang tersebut dengan pemberian identitas yang jelas agar benar-benar tidak tercampur, menatanya dengan pola penyimpanan yang rapi, dari warna box yang dibedakan, misalnya warna biru untuk box produk “OK” warna merah untuk produk “NG” dan warna kuning untuk produk yang belum diperiksa. Atau kita tata alat ukur yang biasa digunakan di lapangan produksi dengan gelang berwarna untuk setiap periode kalibrasi yang kita tetapkan, misalnya gelang kuning untuk alat ukur yang sudah dikalibrasi pada periode semester genap dan gelang warna hijau untuk alat ukur yang dikalibrasi pada periode semester ganjil. Jika masa kerja kita telah memasuki semester ganjil sementara masih ada alat ukur yang menggunakan gelang warna kuning, maka hal ini dengan mudah bisa dideteksi dan segera dilakukan perbaikan dengan melakukan kalibrasi atas alat ukur tersebut.


Seisou (清掃), Pembersihan
Aktifitas bersih-bersih bukanlah merupakan aktifitas khusus dalam pekerjaan kita, melainkan menyatu dengan keseharian jadwal kerja. Dengan seisou, kita pastikan bahwa area kerja kita tetap bersih setelah pekerjaan selesai sama seperti ketika memulai pekerjaan, hal ini bertujuan agar jika terjadi kesalahan atau hal-hal aneh selama bekerja bisa terdeteksi pada saat akhir bekerja, misalnya setiap selesai bekerja semua tools dikembalikan ke kotaknya dan dibersihkan dari kotoran jika ditemukan tools yang sudah rompal dan tidak bisa digunakan, maka dengan segera kita tahu bahwa tools yang dimaksud harus diganti. Selanjutnya perlu segera dilakukan order untuk penjagaan level stock. Dalam hal lain, kita bersihkan meja kerja kita setiap selesai pekerjaan, mengembalikan file-file yang digunakan kepada tempatnya dimana kita pertama kali mengambil. Merapikan meja kerja dan sekelilingnya dari kerja dari dokumen-dokumen yang berceceran dan sampah-sampah lain lalu membuang sampah ke tongsampah dan menyimpan dokumen pada tray dokumen sesuai kebutuhannya. Kegiatan ini menyatu dalam keseharian jadwal kerja kita kapanpun dan dimanapun. Jika hal ini dilakukan maka dengan mudah kita bisa menemukan dokumen yang kita perlukan karena tinggal mengambil di tempat yang sudah ditetapkan bersama, demikian pula halnya dengan tools yang kita butuhkan akan selalu pasti tersedia dalam level stock yang aman untuk digunakan dan dalam kondisi yang bisa pakai. Dalam keseharian habits orang jepang sering kita dengar istilah junbi (Ed: jumbi: persiapan) dan katazuke (rapi-rapi) setiap mereka selesai bekerja, hal ini tidak lain adalah proses seisou yang telah menjadi karakter pribadi setiap orang jepang. Dalam kondisi normal, mereka tidak akan mungkin meninggalkan meja kerjanya berantakan tanpa berusaha melakukan katazuke sebelum meninggalkan tempat kerjanya

Seiketsu (清潔), Pembiasaan
Istilah seisou ini sering kali diterjemahkan sebagai pembiasaan walaupun maknanya lebih dekat pada Standarisasi. Bahwa setiap kita dituntut untuk melaksankan 3S diatas dalam proses sehari-hari, bukan lagi sebagai aktifitas dadakan yang menyita waktu dan energy apalagi sebagai sebuah project yang bernilai sangat mahal tetapi tidak memberikan dampak berarti dalam pekerjaan kita. Rangkaian aktifitas 3S dilaksanakan dengan konsisten dalam keseharian kerja kita, dilaksanakan oleh semua orang tanpa kecuali sebagai sebuah standar baku yang menyatu dengan pekerjaan inti.

Shitsuke (躾), Pendisiplinan
Ini adalah fase terakhir dari rangkaian “Pilah-Tata-Bersihkan-Biasakan”. Penetapan pendisiplinan diri merujuk pada proses panjang yang berkelanjutan, proses pemeliharaan 3S dan standarisasi (S ke-4) dalam rentang waktu yang lama dan terus-menerus. Sejak pelaksanaan 4S berjalan baik, akan muncul permasalah berikutnya dimana 4S ini apakah dijalankan terus menerus dan menjadi habits orang-orang dilingkungan kerja kita atau tidak? Maka Seiketsu sebagai S ke-5 menjadi penyempurna dari 4S sebelumnya. Pada konsep pendisiplinan ini idharapkan pula bukan sekedar mempertahankan kondisi yang ada tetap rapih, bersih, dan standar saja melainkan perlu ada perbaikan berkelanjutan tanpa perbah berhenti berinovasi. Sebab hanya dengan cara itulah perusahaan dapat mempertahankan kondisinya untuk tetap survive ditengah era persaingan global saat ini. Konsep perbaikan berkelanjutan ini pula sejalan dengan prinsip ke -6 pada konsep Manajemen ISO 9001:2008
Demikianlah sekilas tentang prinsip-prinsip 5S. Sepintas terlihat begitu simple, namun bila kita laksanakan dalam keseharian pekerjaan kita, baik dalam lingkungan kantor maupun area kerja produksi maka ia akan mampu meningkatkan produktifitas dan effisiensi dalam setiap aktifitas yang kita lakukan. Sebagai gambaran bagaimana jika kita tidak melaksanakan 5S dalam keseharian kita, simaklah beberapa fakta berikut berikut :

1.     Group produksi machining tiba-tiba tidak bisa menjalankan proses produksinya sebab semua insert cutter yang ada di kotak tools adalah bor bekas yang tidak bisa digunakan lagi. Hal ini terjadi karena foreman group machining tidak terbiasa memisahkan insert cutter yang sudah rusak dengan insert cutter baru yang masih bisa digunakan melainkan menyimpannya bersama-sama dalam satu kotak. Hal ini berdampak tidak diketahuinya secara pasti jumlah insert cutter yang masih digunakan dan yang rusak dalam sebulan pemakaian. Karena kelalaian ini, pihak akunting pun tidak bisa memberikan laporan pembiayaan produksi secara pasti karena tidak diketahuinya berapa jumlah tools yang habis dipakai pada bulan yang bersangkutan. Sebagai dampak tidak bisa berjalannya proses produksi di group machining, maka pengiriman ke pelanggan tidak bisa dilakukan dan departemen Planning terpaksa merevisi rencana kerjanya. Disisi lain akibat tidak bisa mengirim ke pelanggan, terjadi stop line di pabrik pelanggan, sebagai konsekuensinya departemen marketing dikabari akan adanya pemotongan order untuk bulan berikutnya dan sejumlah finalti yang harus dibayar perusahaan akibat kerugian pelanggan karena stop line.

2.     Sebagai sekretaris direktur, Ani terbiasa menyimpan dokumen-dokumen kerja pada tempat yang sudah ia tetapkan dan diketahui oleh atasannya sehingga jika suatu hari Ani berhalangan masuk, sang direktur tahu dimana ia harus mengambil dokumen kerja yang ia butuhkan. Hingga suatu hari Ani digantikan oleh sekretaris baru yang memiliki kebiasaan sangat berbeda, sebutlah Yetty. Yetty merasa cara Ani memilah-milah dokumen dan menyimpannya pada otner berbeda adalah sebuah pemborosan karena setiap otner hanya berisi beberapa lembar dokumen saja sehingga ia rasa sayang jika otner itu dibiarkan kosong demikian. Oleh sebab itu Yetty menyimpan dokumen-dokumen kerja dengan cara digabung dalam satu otner dengan maksud “agar lebih simple dan hemat”. Suatu hari sang direktur meminta Yetty dokumen kontrak tender dengan perusahaan pelanggan yang pernah ia tanda tangani seminggu sebelumnya dalam keadaan urgent karena ia harus segera pergi ke tempat pelanggan untuk mendiskusikan aspek teknis dan detail kontraknya. Sudah hampir 30 menit Yetty membolak-balikkan otner dokumennya dan ia belum juga menemukan dokumen yang dimaksud sebab sesungguhnya Yetty lupa dibagian mana ia menyimpan dokumen tersebut. Hingga akhirnya sang direktur pun marah dan merasa malu kepada pelanggannya karena tidak mungkin ia dapat memenuhi undangan meeting tepat waktu

Dua contoh diatas adalah fakta yang boleh jadi berpotensi terjadi di lingkungan kerja kita. Untuk menghindari hal ini, ada baiknya konsep 5S ini segera kita implementasikan.

Sebagai ringkasan dari diskusi kita, berikut adalah tabel yang mungkin bisa difahami dengan mudah dan bisa menjadi banner di tempat kita bekerja baik di office maupun di lapangan produksi.

日本語
INDONESIA
PENGERTIAN
整理
SEIRI
PEMILAHAN
PILAH yang diperlukan dengan yang tidak diperlukan
PILAH barang yang OK (Bisa Pakai) dengan NG (Tidak bisa pakai)
PILAH setiap barang yang berbeda jenisnya
整頓
SEITON
PENATAAN
TATA setiap barang agar mudah dicari
TATA setiap barang sesuai keperluannya
TATA setiap barang agar indah dilihat
清掃
SEISOU
PEMBERSIHAN
BERSIH-kan tempat kerjamu agar jika ada hal aneh mudah dideteksi
BERSIH-kan setiap barang agar selalu terawat
BERSIH-kan sekelilingmu agar tetap BERSIH
清潔
SEIKETSU
PEMBIASAAN
BIASA-kan dirimu bekerja sesuai STANDAR
BIASA berlaku benar adalah STANDAR
BIASA berbuat sesuai STANDAR adalah BENAR

SHITSUKE
PENDISIPLINAN
DISIPLIN-kan Kebiasaan 3S pada keseharianmu
DISIPLIN-kan Kebiasaan baik agar menjadi KARAKTER
DISIPLIN-kan Berperilaku sesuai Standard

Rabu, 21 Mei 2014

Cara berpresentasi tanpa menggunakan slide



Berpresentasi tanpa menggunakan slide presentasi memiliki beberapa kelemahan dan kelebihan, berikut beberapa di antaranya:

Kelemahan berpresentasi tanpa slide:
  • Ada beberapa hal yang memang lebih efektif disampaikan melalui bantuan visual (slide)
  • Tidak ada yang membantu presenter mengingatkan poin-poin presentasi
  • Anda butuh ekstra latihan untuk presentasi anda
Kelebihan berpresentasi tanpa slide:
  • Persiapan menjadi lebih simpel, anda tidak perlu lagi memasang laptop, file slide dan projector
  • Anda tidak akan lagi mengalami gangguan teknis seperti laptop meledak atau hang, video tidak terputar dst
  • Memaksa anda melakukan latihan ekstra yang akan lebih menunjang keberhasilan presentasi anda
Nah… sekarang akan saya sampaikan beberapa tips untuk menyampaikan presentasi tanpa menggunakan slide. Saya sendiri sesekali melakukannya, terakhir saya sengaja merancang sebuah seminar motivasi selama satu jam tanpa menggunakan slide sama sekali. Saya berhasil melakukannya dengan mulus dan hal ini mendatangkan kepuasan tersendiri. Berikut tips-tipsnya:

(1) Pastikan topik anda sesuai untuk dipresentasikan tanpa slide

Ada beberapa topik yang memang lebih efektif dan cepat dipahami dengan menggunakan slide (saya tidak bisa membayangkan jika saya diminta memberikan topik “Cara membuat slide presentasi yang efektif” tanpa menggunakan slide presentasi). Contohnya adalah sebuah presentasi bisnis yang sarat dengan grafik dan diagram akan jauh lebih mudah dipahami jika anda menggunakan slide presentasi.
Sedang beberapa topik seperti presentasi motivasi, kata sambutan atau sharing pengalaman masih sangat-sangat memungkinkan untuk disajikan tanpa slide presentasi. Justru untuk jenis-jenis presentasi di atas, saya sarankan untuk anda mencoba melakukannya tanpa slide presentasi.

(2) Struktur presentasi Anda haruslah sangat-sangat kuat

Salah satu keuntungan menggunakan slide presentasi adalah audiens bisa menangkap poin presentasi anda dengan jelas. Karena jika anda menggunakan prinsip mendesain slide yang tepat, poin-poin presentasi itulah yang akan tercantum di slide presentasi anda. Sehingga jikalaupun audiens terlewat menangkap poin presentasi yang terucap dari anda, mereka masih bisa melihat dan mencatat dari apa yang tertulis di slide anda.
Sehingga ketika anda berpresentasi tanpa slide, poin-poin yang anda sampaikan haruslah benar-benar jelas supaya audiens bisa menangkapnya. Salah satu cara melakukannya adalah dengan menggunakan repetisi / pengulangan poin-poin yang anda sampaikan. 

(3) Gunakan banyak cerita

Cerita adalah salah satu alat untuk bisa menyampaikan poin presentasi anda dengan jelas, kuat sekaligus menghibur. Ketika anda mahir bercerita maka anda semakin ahli untuk mempertahankan perhatian audiens pada presentasi anda. Dan ketika sedang bercerita, anda memang tidak membutuhkan bantuan slide presentasi. Walaupun saya berpresentasi menggunakan slide, akan tetapi ketika tiba saat saya harus menyampaikan cerita, pastilah saya selalu mematikan slide presentasi saya.

(4) Berlatihlah lebih keras

Tips yang satu ini benar-benar tidak bisa dipungkiri lagi. Ketika anda menggunakan slide presentasi, anda masih bisa mendapat bantuan dari slide anda. Misalkan anda lupa poin berikutnya, anda tinggal tekan tombol next pada laptop atau clicker anda, maka slide yang berisi poin yang harus anda sampaikan berikutnya pun segera terpampang. Akan tetapi jika anda berpresentasi tanpa slide, anda tidak akan mendapat fasilitas dan kemudahan ini.
Oleh karena itu berlatihlah ekstra untuk bisa mengingat poin-poin presentasi yang harus anda sampaikan. Dengan anda melakukan hal ini maka sebetulnya kesuksesan presentasi anda juga akan lebih terjamin.
Dan sebagai asuransi, saya kira juga tidak ada salah nya anda mempersiapkan notes yang berisi poin-poin presentasi anda. Tidak ada salahnya menggunakan notes, jikalau anda benar-benar lupa anda bisa intip notes anda sebentar. Tidak akan ada audiens yang tiba-tiba marah dan menuduh anda berlaku tidak jujur karena mencontek 






Selasa, 20 Mei 2014

Generasi Y Adalah Generasi Penerus Indonesia Saat Ini


“Mereka tak sama seperti kita dulu… Anak yang dibesarkan dalam kesenangan, tak faham kerja keras… Tahunya hanya protes”
“Terlalu dirusak oleh teknologi, lebih banyak bermain dari bekerja”
“Tukar kerja seperti tukar baju… Tidak loyal… Mereka di sini bukan untuk membantu”

Itulah perbincangan sekelompok senior saat berkumpul membicarakan para eksekutif muda Generasi Y yang sangat berbeda budayanya dengan mereka.

Kebiasaannya yang terdengar adalah lebih banyak keluhan daripada pujian. Walaupun mereka ini terlihat pintar, agresif dan sentiasa mau mencoba, tetapi sikap mereka membuat barisan manajemen sakit kepala. Mereka orang muda yang berani dan bersemangat, tetapi sering dianggap kurang ajar. Baru seminggu bekerja, tanpa malu sudah berusaha mau mengubah cara pengelolaan perusahaan .
Mereka memang hebat dengan kemahiran multitasking. Sambil membalas email melalui Ipad, masih bisa diselang-selingi membalas pesan BlackBerry. Pada waktu yang sama, mereka melakukan business deal melalui telepon. Apalagi dengan memakai jeans dan iPod di meja kerja, mereka diragukan apakah benar-benar bekerja atau bermain ? Di mana disiplin dan keseriusan yang selama ini penting dalam ‘budaya’ perusahan ?

Tambah jelas apabila tepat jam 5 sore, mereka akan bergegas pulang untuk aktivitas pribadi seperti bermain futsal, ke Gym atau sekadar keluar minum bersama teman-teman. Lembur ? Tidak… Karena bagi mereka hal itu tanda gagal mengurus waktu dan kurang gesit menyelesaikan pekerjaan. Apalagi bekerja di akhir minggu. Mereka biasanya sudah punya rencana cuti bersama teman atau melakukan hobinya.

Namun, mereka tidak menolak untuk menyelesaikan pekerjaan dari rumah atau dari tempat liburan, asal saja ada jaringan internet. Pekerjaan dapat mereka selesaikan dengan baik tanpa perlu rapat demi rapat. Mereka memang sangat berbeda. Karena itu mereka sering dikritik dan tidak terlepas juga, mereka senang mengkritik.

Inilah fenomena yang sedang melanda dunia. Gelombang baru perubahan yang dibawa oleh anak-anak muda yang mulai memasuki dunia pekerjaan. Jika Anda senior di perusahan, maka bersiaplah untuk berhadapan dengan mereka. Cara berpikir, cara pandang, cara hidup, juga cara mereka menentukan keutamaan dan mendefinisikan kesuksesan sangat berbeda.

Menurut Bruce Tulgan, penulis dan pengagas New Haven yang melakukan kajian terhadap generasi muda, “Para korporasi harus mulai bersiap, karena generasi ini, yang anggotanya tidak lagi mencapai usia 30, adalah sangat berbeda dibanding generasi sebelumnya”
Siapa sesungguhnya mereka ?

Mereka dikenal sebagai Generasi Y, atau ada juga yang menjuluki sebagai echo boomer dan millennials. Ada yang mengatakan, mereka lahir sekitar tahun 1977 – 2002. Ada juga yang berpendapat, sekitar tahun 80an hingga tahun 2005. Namun yang jelas mereka adalah Generasi baru, anak-anak generasi Baby Boomer yang hidup setelah Perang Dunia Ke-2.

“Generasi Millennium telah dibesarkan dalam generasi yang paling menitikberatkan anak-anak. Mereka diprogram dan dibentuk,” kata Cathy O’Neil, VP senior di perusahaan pengelolaan SDM Lee Hecht Harrison di Woodcliff Lake, New Jersey. Keinginan mereka berbeda. Generasi millennium ini menunggu untuk mendapat masukan dari hasil kerja mereka.

Dari kecil mereka diajari berpikir terbuka dan bebas menyuarakan pandangan dan keinginan mereka. Guru-guru dan orangtua membentuk generasi ini bebas berpikir, sering diberi feedback, pujian, dan dorongan. Mereka dibesarkan di dalam zaman yang paling ‘aman’ di dalam sejarah dan layak mengharapkan lebih banyak dari generasi sebelumnya. Bukan sekadar kebendaan, juga tempat kerja yang menawarkan peluang yang tidak terbatas. Hasilnya, mereka sangat percaya diri, berani bersuara, dan tidak malu mengemukakan pandangan.

Namun ini menjadikan mereka generasi yang tidak lagi hanya memikirkan uang semata. Mereka menginginkan keadilan di dalam menilai pekerjaan mereka dan dihargai tidak hanya dengan gaji. Mereka dibesarkan dengan pujian dan penghargaan dari guru dan orangtua. Karena itu, jika tidak mendapat feedback secara rutin dari atasan, mereka bisa merasa tidak dihargai dan akan pergi meninggalkan organisasi walaupun gaji yang ditawarkan tinggi.

Mereka juga tidak akan menghormati seseorang hanya kerana jabatan atau senioritas. Mereka hanya akan menghormati orang yang memperlihatkan sikap hormat kepada mereka. Kesetiaan bagi mereka tidak hanya dibina dari bawah ke atas, tetapi juga harus dari atas ke bawah.

Anak-anak muda ini adalah wajah dunia masa depan, bercita-cita tinggi, kaya ide, ketagihan perubahan, berani dan seolah mampu melakukan apa saja, kecuali satu… mengikut apa yang diarahkan tanpa sebab !

Jordan Kaplan, seorang professor sains pengurusan di Long Island University-Brooklyn, New York mengatakan, “Generasi Y sangat kurang mempercayai manajemen konservetif ala command-and-control. Namun, cara manajemen tersebut masih popular di tempat kerja saat ini”.

Dia juga menambahkan bahwa, mereka dibesarkan bebas bertanya dan mempersoalkan orangtua. Saat besar mereka juga akan merasa nyaman untuk bertanya dan mempersoalkan atasan. Ini sesungguhnya bagus, tetapi hal itu akan mencemaskan manajer yang berusia 50 tahun yang mana kebiasaannya hanya mengeluarkan arahan, “Lakukan dan lakukan sekarang”

Sudah saatnya para pemimpin korporasi memikirkan hal ini dengan serius. Semua hal berubah. Begitu juga cara dalam menghadapi para pekerja baru yang memasuki dunia pekerjaan. Mereka pastinya tidak sama seperti generasi 20 tahun lalu. Nilai-nilai yang dibawa oleh golongan muda ini seperti kecepatan, fleksibel, inovasi dan gold oriented harus kita terima dan sesuaikan di korporasi.

Cara pengelolaan lama yang kurang fleksibel harus segera diubah untuk menyesuaikan diri dengan tenaga muda yang sedang haus mencari peluang untuk mengembangkan ide dan inovasi.

Namun hal itu belum cukup. Kunci kejayaan jangka panjang dan kelangsungan sebuah perusahaan atau organisasi adalah bagaimana memotivasi dan membentuk talent-talent muda yang akan membawa Anda menguasai masa depan. Bagaimana kita dapat memotivasi secara berkesan generasi yang terlihat sangat berbeda dengan kita ini ? Bagaimana menanamkan nilai-nilai mulia yang selama ini kita pertahankan di perusahan seperti integritas, kesetiaan, dan kebersamaan ? Apa upaya yang harus dilakukan supaya terwujud kesepahaman antara generasi dan dapat bekerja dalam sebuah pasukan yang saling memahami ?

Sebuah transformasi budaya korporasi sangat diperlukan saat ini oleh semua perusahaan atau organisasi yang ingin bertahan. Kita harus segera mentransfer nilai-nilai budaya yang menghidupkan perusahan selama ini pada belief system Generasi Y yang sesungguhnya adalah sumber daya masa depan. Mereka rajin dan kuat bekerja tetapi tidak mau pekerjaan menguasai kehidupan mereka. Bekerja bagi mereka bukan segalanya, tetapi hanya sebagian dari kehidupan yang perlu dijalani. Mereka sesungguhnya memerlukan lebih dari sekadar gaji dan penghargaan.

Dengan pengelolaan yang benar, para pemuda, tenaga kerja, atau warganegara muda ini akan menjadi aset berharga. Kami telah membantu dan bekerjasama dengan banyak organisasi untuk menangani hal ini. Dengan memberikan training dan motivasi yang tepat, telah memperlihatkan hasil yang fenomenal. Anak-anak muda yang dulunya hanya memikirkan pencapaian diri dan kurang percaya kepada lingkungan, kini bangkit menjadi bagian dari karyawan dan masyarakat yang berwawasan dan bercita-cita untuk kesejahteraan bersama.

Ingatlah, sesungguhnya bukan mereka berada di zaman kita, tapi kitalah yang sebenarnya hidup di zaman mereka sekarang. Beri mereka makna dan tujuan hidup, serta keluarkan nilai-nilai spiritual yang akan menjadi perekat juga menyatukan. Anda akan terkejut melihat bagaimana mereka bekerja untuk Anda sekarang dan meneruskan legasi kesuksesan Anda di masa depan !

Dr. (H.C) Ary Ginanjar Agustian,
Pakar Pembangunan Karakter,
Corporate Culture Consultant,
Founder ESQ 165.
fanspage : facebook.com/Ary.Ginanjar.Agustian
Twitter : @AryGinanjar165

Selasa, 13 Mei 2014

Alasan No.1 merekrut orang yang salah ( Hiring Wisdom: The No. 1 Reason the Wrong People Get Hired )

sumber : http://www.tlnt.com

untuk menerjemahkan ke Bahasa Indonesia klik fitur translate (sebelah kanan)

No matter how logical we may try to be, most hiring decisions still come down to: “Of those qualified, who do I like best?

This means our No. 1 hiring criteria is personality. Unfortunately, personality has nothing at all to do with success on the job.

Focusing too much on applicant personality

In fact, the word “personality” stems from the Latin word “persona” and refers to a theatrical mask worn by performers in order to either project different roles or disguise their identities. This is why the best applicant and the best employee are rarely one and the same. (Now you also know how you hired the perfect person only to have their evil twin show up for work.)
So, if you like the bright, younger applicant with a firm handshake and winning smile, remind yourself that it’s possible that what you don’t see (and what that person certainly will not tell you) is that he’s been very successful at dodging responsibility most of his life and has a well-rehearsed litany of excuses to use on the job that will probably even sound quite plausible — until the third or fourth go-round.
So, how do we start making better hiring decisions?
We need to do our best to disregard our gut instinct likes and dislikes and hire for attitude instead. Whether the job at hand pays $5 an hour or $50, successful people all have one thing in common; they use their positive attitudes (responsibility, dependability, initiative, etc.) to get the job done.

Discovering an applicant’s underlying attitudes

Three ways to discover an applicant’s underlying attitudes are thorough:
  1. Interview questions (For instance, “Tell me what your responsibilities were when you started the job and what they were when you left.”)
  2. Pre-employment attitude (not personality) testing. (Click here for sample.)
  3. Reference checks (“The applicant told me she is a 10 when it comes to dependability, would you agree?”)
Some words to remember: “Ability is what you’re capable of doing. Motivation determines what you do. Attitude determines how well you do it.”Lou Holtz, former Notre Dame head football coach.
This was originally published in the May 2014 Humetrics Hiring Hints newsletter.

Mel Kleiman, CSP, is an internationally-known authority on recruiting, selecting, and hiring hourly employees. He has been the president of Humetrics since 1976 and has over 30 years of practical experience, research, consulting and professional speaking work to his credit. Contact him at mkleiman@humetrics.com.

Sabtu, 10 Mei 2014

Siapa bilang menjadi HR tidak bisa Fun



I’m in HR because it’s fun.”
Wait, what?!?
“I’m in HR because it’s fun.”
Wait, what?!?
“I’m in HR because it’s fun.”

That’s what I thought she said the first time, she being the VP of Human Resources at Bay Federal Credit Union in Santa Cruz, CA. One of her staff members, an HR generalist specializing in recruiting, echoed the sentiment.

HR has never really been viewed as “fun”

In fact, they positioned their brand so eloquently, I was convinced I needed to be a part of their workforce community; my wife and I are already Bay Federal Credit Union members. I say community because the credit union is such an integral part of our community (true of many credit unions in their specific regions).

The two HR pros and myself were on a local career panel together recently speaking to high school students about career futures, whatever those may hold. We shared our backgrounds, wisdom and realities of what the world of work may have in store for them, and how to plan for it all and take ownership of it all, through boom and bust.

This was another career panel I participated in put on by an amazing local organization called Your Future Is Our Business. YFIOB is a community-based 501(C) (3) non-profit organization dedicated to fostering business/education partnerships that benefit students. Their mission is to support young people in Santa Cruz County with making informed educational and career decisions.
Back to the part about HR being fun.

What I wanted to add in jest to her comment above was the fact that HR has never really been viewed as fun from a mainstream world of work perspective. They’re responsible for the not-so-fun compliance, benefits administration performance reviews and outplacement work, among other slightly more so glamorous employee-related responsibilities.

HR expected to grow 20% this decade

I didn’t make a joke, because the students lit up and started asking all sorts of career questions about working at the credit union, and about what it’s like to be an HR pro and how to become one. Lit up as in excited. Motivated. Dreaming of their future beyond high school where they can make a difference in their community where there families and their friends live. Dreaming of work that could be fun.
I’ve joked that I’ve played HR and recruiting on TV (the online and in-person social realms), and yes, some of my “best friends” are HR professionals. Seriously.

And why not? With human resources as a profession projected to grow by over 20 percent between 2010 and 2020 according to the Bureau of Labor Statistics (BLS). According to a recent U.S. News Money report on the best 100 business jobs in 2013, HR is “expected to be a rapid-growth field as the economy continues to recover from the recession.”

Granted, it doesn’t hold court with the high tech salaries skyrocketing again today, but HR is involved in everything, including tech. It touches every single aspect of a business, every single department and division, and every single applicant, employee, alum, contractor, vendor — you name it. HR pros are the go-to folk in organizations big and small. They humanize the brand and help workforce communities thrive.

HR is business omniscience, the capacity of knowing everything there is to know. Who says that’s not fun?

This was originally published on Kevin Grossman’s Reach West blog.
Kevin W. Grossman has held multiple leadership positions in the human resource and recruiting marketplace, B2B and consumer technology marketplace and higher education for the past 25 years. He's a marketing strategist, HR industry evangelist, online community developer, entrepreneur, analyst, advisor, manager, philanthropist and writer. He is currently the Director of Content Development for Peoplefluent,, the leading provider of talent management solutions designed to support the entire workforce. Contact him at kevin@reach-west.com .

Selasa, 06 Mei 2014

HR Basics: How to Write a High Performance Job Description




Determined to find just the right people to fill your open positions?
The process starts long before the interview, and as an HR professional, much of that weight is on your shoulders. By writing accurate, concise job descriptions, you’re more likely to attract prospective employees who are perfect for the position.
The U.S. Small Business Association offers a few valuable tips for those setting out to write job descriptions. In addition, here are a few ideas to help create a great job description.
  1. Include specific duties. If a data-entry job involves 25 percent filing, 10 percent answering phones, and 65 percent typing up reports, say so. By breaking up tasks in percentages, would-be applicants will know what to expect before they come in for an interview.
  2. Include a job objective or overall purpose statement. Applicants want to know where they will fit in the big picture. It’s also helpful to include information about the chain of relationships within your company; who will they be working with, and who should they expect to answer to?
  3. Be concise. You don’t have to write an essay here. Try to be as efficient as possible in your use of words, and cut out redundancies while including all necessary information. A recent post on Mashable emphasizes the importance of using direct, specific language in your description, as well; “sometimes” and “often” are worth leaving out.
  4. Include a salary range. Rather than just sticking a price tag on your description, Recruitloop.com suggests listing a salary range consistent with similar positions at other companies. This gives you a little wiggle room to work with individual applicants and adjust the salary to their experience.
This was originally published on the Genesis HR Solutions blog
Patty Hilger is Vice President of Human Resources and Operations at Genesis HR Solutions. She focuses on the continuous improvement of strategic and tactical operations and processes within the organization.

Enam Pertanyaan Interview Yang Sangat Perlu untuk ditanyakan

 Sumber : http://www.tlnt.com

 

6 questions worth asking a candidate

1. Tell me about our company. Give your top-line analysis.
Look for: initiative, analytical ability, values, confidence.
2. Walk me through the first five (5) things you would do if you got this job.
Look for: strategic thinking, prioritization skills, execution style.
3. What 3-5 things do you need to be successful in this job? What are the deal killers?
Look for: culture fit, expectations, work style.
4. Talk about a time that you took a risk and failed, and one where you took a risk and succeeded. What was the difference?
Look for: risk-taking ability and tolerance, self-awareness, honesty, conceptual thinking.
5. Tell me about one of your proudest moments at work.
Look for: drive, personal motivators, preferred work style (team builder, solo contributor, etc.)
6. What do you want for your career two jobs from now, and how does this position help you get there?
Look for: initiative, long-term thinking, self-awareness, personal motivators, professional development expectations.


What do you think? Will Kristi’s questions to ask in an interview help your hiring efforts?
This article originally appeared on The Resumator Blog.
Don Charlton is a Web entrepreneur, developer and speaker. His company, TheResumator.com,, helps employers hire with confidence. Contact him at don@theresumator.com.

Customers Are Key, But Employees Are the Most Important Value Proposition


 Klik Terjemahan disamping kanan untuk menerjemahkan ke Bahasa Indonesia

Everyone talks about building a relationship with your customers. I think you build one with your employees first.”
That statement was from Angela Ahrendts, former CEO of Burberrys and now headed to Apple as new retail and online leader. She joins them this week.
Employees First, Customers Second was the title of a book a few years back by CEO Vineet Nayar of HCL Technologies. He wrote that by putting employees first and his customers second, he was able to build the world’s largest IT Firm.
I have always marveled at how leadership within a company always extols the value of building the customer value proposition. They eat, breath, and sleep it. Everyone on the team is striving to make it happen every day.

Employees as a value proposition

However the other — and most important  – value proposition is, and should always be, the major focus of all organizations today,  and that is the proposition around employees.
When I read Vineet Nayar’s book, I got it right away. The notion is that if you take care of your people they will surely take care of your customers. If you do not take care of them, they will not adequately take care of your customers. That is just plain old common sense.
That thinking is more important than ever today because the worker mindset is different. They are in no way obligated to working for you.
If they are talented, they can pick up their ball and move to another playground. No longer are you the only ship in the sea. If you do not take care of them collectively, they can just as easily “walk across the street.”

Actions speak louder than words

If organizations managed their employee relationship as they do their customer relationships, all their important metrics would show tremendous improvement. Saying one thing, doing another and expecting better results is nonsense.
And this has nothing to do with the employee value proposition because in a lot of cases, those are just written words. Like a script, it takes action to bring it to life.
Not only that but the vast majority of the employee population could not recite the corporate mantra if their lives depended on it. However if you lived up to it the way that you would for that top customer, there would be no need for the written sonnet.
If your customers have problem, they become your problems. If you customer calls, you will surely return the call or email. If your customer talks to you, you will surely listen. If they complain about your process or services, you will surely try to arrive at a solution.

The approach is the same

The approach should be the same. The collective concerns should matter as much as the ones from the customer group.
However this whole process of equalization between the 2 groups starts with the individual. As Michael Jackson so eloquently sang, “If You Wanna Make The World, A Better Place Take A Look At Yourself, And Then Make A Change”
As managers we could begin to drive this process within our own teams. Managers that often say that their door is always open, but you can’t get an appointment or response to an email. Yet, even when you do, the glance at the watch and look of indifference shone through. Would you treat a customer the same. I think not.
The truth is this: talk is cheap. Actions speak louder than words.
Organizations, leaders and managers should not say one thing and do another. It damages credibility. What has taken a long time to build can be lost with one or two stupid maneuvers.
Once the trust equation is broken the ball game is over. As companies make pronouncements and fail to live up to them credibility suffers.
That is why it is paramount to be upfront and in the open as much as possible, because that is how organizations treat their customers.

Let your actions send the message

Let’s face it — you send a message with what you say AND what you do. If words aren’t supported with consistent actions, they will ring hollow. Someone once said, “Remember, people will judge you by your actions, not your intentions.”
What would happen if your organization lost credibility with your customers. Would they be willing to torpedo a relationship that’s taken them a lifetime to build? The answer is no, because they would realize that they are undermining their organization’s success.
I received a note from a good friend last week — Barbara Maier, Talent Acquisition Manager over at the Vanderbilt University Medical Center– who told me she posted on her wall a quote that I had used on Facebook. The quote was, “Hire the best talent and treat them like your best customer.”
If organizations followed that premise, the vast majority of corporate ills would be laid to rest. Focus on the talent and the customer will be taken care of itself.
Ron Thomas is a Chief Human Resource & Administrative Officer currently based in Riyadh, Saudi Arabia. He formerly was Director, Talent and Human Resources Solutions at Buck Consultants (a Xerox Company) and is certified by the Human Capital Institute as a Master Human Capital Strategist (MHCS) and Strategic Workforce Planner (SWP). He's also worked in senior HR roles with Martha Stewart Living and IBM. Ron serves on the Harvard Business Review Advisory Council, McKinsey Quarterly Executive Online Panel, and HCI's Expert Advisory Council on Talent Management Strategy. He also serves as a Faculty Partner and Executive Facilitator at the Human Capital Institute. He has received the Outstanding Leadership Award for Global HR Excellence by the World Human Resource Development Congress in Mumbai. Contact him at ronaldtthomas@gmail.com, or on Twitter at http://twitter.com/Ronald_thomas.

Leadership & People Development

Practical Coaching Konseling

Practical Coaching Konseling
Gabung KLIK Gambar atau Hubungi WhatsApp 085852316552

Corporate Trainer & Public Speaker

Certified HUMAN DEVELOPMENT